Alih Profesi Menjadi Jurnalis Independen ?

Setahun belakangan ini kita semua menjadi saksi beberapa perubahan dan pergeseran yang terjadi di industri media, baik secara global maupun secara nasional. Akibat resesi ekonomi tahun 2009, banyak koran di Amerika Serikat yang terpaksa mem-PHK-kan sebagian karyawannya. Sebuah situs bahkan secara khusus mendokumentasikan koran-koran yang mengurangi karyawannya sampai dengan tahun 2010 ini.

Di Indonesia, untung saja tidak terjadi kasus seperti ini. Yang kita saksikan adalah pergeseran jurnalisme dan industri media –dari ranah konvensional (media cetak dan siar) ke ranah daring (online portal, blog, Twitter). Perkembangan dunia online di Indonesia marak dengan hadirnya para jurnalis dan reporter di Twitter, dan munculnya jurnalisme warga via blog dan media sosial lain.

Selain itu, muncul juga warna baru dunia jurnalisme berkaitan dengan perkembangan dunia online dan pemutusan hubungan kerja: jurnalisme independen. Para jurnalis yang tidak lagi dipekerjakan di media, atau mereka yang memutuskan untuk memilih bekerja sebagai jurnalis lepas kini mempunyai opsi lain, yaitu menjadi jurnalis independen. Tidak terikat pada siapapun, dan menerbitkan tulisannya untuk dan atas dirinya sendiri. Lewat apa? Blog dan website.

Di Amerika Serikat ada beberapa jurnalis yang berhasil sukses melalui blog jurnalisme independennya. Bermodalkan keahlian mereka menulis, kreativitas, kerja keras serta hubungan yang terbangun baik dengan banyak orang, saat ini mereka mempunyai “media”nya sendiri.

Misalnya Tom Foremski, yang sekarang mengelola Silicon Valley Watcher, yang menulis tentang berbagai hal seputar dunia teknologi dan media. Ia mempunyai tim yang kini ikut mengelola editorial situs tersebut. Bahkan, Foremski sendiri saat ini menempati peringkat 28 dari 50 orang paling berpengaruh di San Fransisco - Silicon Valley Top 50 Most Influential People.

Ada juga tiga orang jurnalis perempuan yang kemudian memutuskan untuk menulis berbagai hal tentang resesi dan apa yang harus dilakukan untuk bisa bertahan di tengah resesi, lewat Recession Wire. Ada bagian tentang menabung, mencari pekerjaan, gaya hidup, dan bisnis –yang semuanya berkaitan dengan krisis ekonomi yang menghantam Amerika Serikat tahun lalu.

Di Indonesia, praktik-praktik serupa masih belum begitu marak. Salah satu contohnya adalah yang dilakukan oleh Yosef Ardi, seorang jurnalis bisnis yang pernah menjabat sebagai Managing Editor Bisnis Indonesia. Melalui Indonesia Today yang sepenuhnya ditulis dalam bahasa Inggris, ia dan timnya meliput berbagai hal tentang Indonesia, terutama dari sudut pandang bisnis dan ekonomi dengan analisis yang cukup tajam. Tujuannya memang untuk memberikan analisis business intelligent bagi pembuat keputusan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Lalu mengapa di tanah air praktik ini masih kurang? Menurut Farid Gaban melalui sebuah mailing list, hal ini disebabkan oleh banyak hal. Yang pertama dan utama adalah honor atau gaji. Menjadi jurnalis lepas, apalagi independen, honornya tidak seberapa di Indonesia, apalagi dibandingkan dengan di negara-negara lain di belahan dunia Barat.

Farid mengemukakan bahwa di Indonesia jurnalis lepas honornya sangat kecil karena dibayar per berita yang hanya dimuat di satu media saja. Sementara di negara lain biasanya berlaku sistem sindikasi di mana jurnalis menjual beritanya ke sindikasi media dengan harga tinggi, namun beritanya dapat dipublikasikan di banyak media sekaligus.

Bagi sebagian jurnalis dan masyarakat di Indonesia, hal ini dianggap sedikit negatif, karena berita tersebut seharusnya “eksklusif”, tidak dimuat di banyak media. Malahan, seringkali dianggap aneh jika ada berita yang dimuat di lebih dari satu media.

Untuk menjadi jurnalis independen yang mempunyai blog/situsnya sendiri lebih sulit lagi, karena beritanya dipublikasikan sendiri juga, tanpa honor dari pihak lain. Walaupun ada prospek untuk mendapatkan keuntungan dari pemasangan online ad, tetapi hal ini memerlukan waktu yang panjang sebelum bisa menghasilkan keuntungan.

Untuk menjadi jurnalis independen yang sukses juga diperlukan lebih dari sekedar kemampuan menulis, tapi juga harus mempertimbangkan waktu yang akan banyak diluangkan untuk mendirikan blog dan mengisi blognya dengan berita yang menarik dan aktual, desain dan teknologi yang akan digunakan, pemasang iklan dan/atau sponsor, serta bagaimana menarik pengunjung dan membangun komunitas pembaca.

Terlepas seberapa sulit, ditambah belum terlalu prospektifnya lahan jurnalisme independen di tanah air saat ini, namun mungkin kita bisa sama-sama melihat hal tersebut secara positif sebagai sebuah celah baru, diantara beragam kesempatan pekerjaan yang ada, bagi rekan-rekan jurnalisme yang, mohon maaf, atas alasan satu dan lain hal, harus kehilangan pekerjaannya. Kenapa tidak?

Semua proses yang dilakukan sebagai seorang jurnalisme independen hampir mirip dengan pekerjaan sebagai jurnalis. Bedanya, kali ini si jurnalis bebas memilih berita-berita mana yang akan ditulis dan dimuat di blog atau situs mereka dan juga si jurnalis berhak mencantumkan tulisan mereka secara utuh tanpa adanya kekhawatiran akan dipotong sana sini. Namun satu hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah, si jurnalis harus lebih memperhatikan proses cek dan ricek lebih seksama karena tanggungjawab kali ini berada di tangan dia sepenuhnya.

Apakah rekan-rekan tertarik untuk menjadi jurnalis independen? 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fadel Partner Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template