Berani Aniaya Wartawan ? siap-siap masuk Penjara..

MAJELIS hakim Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh menghukum mantan Pasi Intel Kodim Simeulue, Lettu Faizal Amin (29) sepuluh bulan penjara. Ia terbukti merusak laptop dan hp serta menganiaya wartawan Harian Aceh, Ahmadi (40) pada 21 Mei 2010, karena memberitakan kasus illegal logging yang melibatkan oknum TNI di Simeulue. Putusan majelis hakim dalam sidang di Dilmil Banda Aceh, Kamis (20/1) itu, setara dengan tuntutan Oditur Militer I-01 Banda Aceh, Mayor Sus Jamingun SH pada sidang sebelumnya.

Sebagai warga di negara hukum, kita menaruh apresiasi atas putusan tersebut, meski terasa sangat ringan untuk kesalahan yang sebetulnya tidak sederhana, karena ada unsur intimidasi dan teror di dalamnya. Bila dirunut ke belakangan, kita akan dapati fakta seperti ini: karena terpidana emosi kepada korban yang memberitakan kasus penebangan liar yang diduga melibatkan oknum TNI, akhir Mei 2010, Lettu Faizal Amin merampas ransel dari punggung korban. Ia juga merusak laptop dan hp korban. Hakim menilai, dakwaan perusakan alat kerja dan penganiayaan terhadap wartawan ini terbukti.

Tapi, yang justru sangat menarik adalah dakwaan ketiga. Bahwa saat berada di lapangan tembak makodim, terpidana melepas tiga tembakan ke tanah, persis di sebelah kanan dan kiri kaki korban. Bagi kita orang awam, ini jelas teror mental. Dan yang melakukannya justru seorang perwira menengah TNI. Untung saja, kaki korban tidak terkena timah panas atau serpihan peluru. Tapi tentulah hati dan nyali korban kecut, karena perbuatan itu menyebabkan ia trauma, sebagaimana hasil pemeriksaan psikolog. Namun yang aneh, hakim tidak mempertimbangkan dampak trauma psikis pada korban sebagai dasar penghukuman pelaku. Yang dibidik justru terdakwa telah menghamburkan amunisi yang dipercayakan kepadanya. Peluru itu akibatnya tak dapat dipergunakan lagi (rusak).

Atas perbuatan ini, pria asli Makassar itu didakwa melanggar Pasal 148 ke-2 KUHPidana Militer tentang perusakan inventaris negara.  Kenapa sesederhana itu pertimbangan hukumnya? Ini sungguh bentuk putusan yang sangat pro pada kekuasaan, alat-alat kekuasaan, bahkan pada inventaris penguasa. Perasaan si wartawan yang ditembakkan peluru ke arahnya lebih dari satu kali, sedikit pun tidak diperhitungkan. Cobalah jika hakim atau si pamen TNI itu berada pada posisi tersebut? Dijadikan sasaran tembak, meski tujuannya hanya untuk teror, lalu pantaskah si pelakunya dibebaskan dari tanggung jawab pidana?

Terlepas dari pertanyaan kritis ini untuk jajaran penegak hukum, sedianya oditur pun tidak semata membidik terdakwa menggunakan KUHP atau KUHPM, melainkan dengan Pasal 18 UU Pers yang ancaman hukumannya maksimal dua tahun penjara atau denda maksimal Rp 500 juta. Sebagai orang pers, kita menilai belum tercermin rasa keadilan masyarakat (pers) dalam kasus Pasi Intel ini. Tapi paling tidak, sudah cukup menjadi iktibar bagi pihak lain untuk tidak berlaku kasar kepada wartawan. Sebab, nekat aniaya wartawan, berarti siap masuk penjara, sekalipun ia tentara!

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fadel Partner Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template