Kawanku, Ibuku Seorang Pahlawan...

Mariah Aziz ( Ibunda )
Entah kenapa tiba-tiba memoriku kembali ke masa silam. Aku teringat tatkala dulu Ibunda berbagi cerita bersama kami, ketika dia menyemangati kami, ketika seringkali airmata mengalir dari pipinya yang halus, ketika shubuh dia membangunkan kami untuk sembahyang memuja sang Al-Khalik, ketika di sore hari dia senantiasa mengingatkan kami untuk pergi mengaji, ketika dia menguraikan harapan-harapanmu pada kami anak-anakmu yang sedang dia didik dan besarkan dalam naungan cintaNya, ketika Ibunda mengharapakan agar dirumah kami yang hampir roboh itu bisa kami dirikan shalat berjama’ah dengan kami anaknya sebagai imamnya, ketika dengan penuh harap Ibunda bercita-cita agar suatu saat kami mampu membeli sepetak tanah masa depan yang akan kami tempati bersama karena tidak mungkin kami akan terus menempati pojok tanah pinjaman orang lain. Aku juga teringat ketika Ibuku tersenyum bahagia menyaksikan kami anak-anaknya menjadi juara kelas di sekolah dan TPA.

“Aku Rindu Ibunda!”, begitulah jeritan hatiku tatkala suatu ketika di keheningan malam yang syahdu mataku tak mampu terpejam karena hadirnya rasa kerinduan yang amat sangat kepada seorang wanita yang telah melahirkanku, kepada seorang yang telah membesarkanku dengan perjuangannya yang amat berat. Saat itu, ku ambil sebuah pena dan secarik kertas kucoba menulis secuil isi hatiku dalam sepucuk surat mengenang jasa-jasanya yang tiada tara banyaknya.

Aku masih ingat pesan dan harapanmu dulu, biarpun kondisi keluarga kita hancur-hancuran tapi engkau tetap menginginkan kami menjadi anak-anak yang alim/shalih, berpendidikan tinggi dan berhasil dunia akhirat, meski saat itu Ayah jarang pulang karena mencari rizki di belantara hutan Ilahi, meski saat itu kita jarang makan, atau kadangkala kita harus menghidupkan ’suwa’ untuk menerangi rumah kita yang tanpa listrik itu. Meski kondisi kita melarat sebagaimana kebanyakan masyarakat Aceh pedalaman lainnya. Tapi, aku tak menyangka engkau begitu bersemangat menyekolahkan kami, meski kadang kami menangis karena dengan terpaksa harus memakai baju sekolah yang sudah lusuh atau pemberian orang, tapi engkau tak pernah putus asa dalam menyemai benih cinta dan harapan dijiwa kami.

Ibunda, masih kuingat tatkala dipagi hari selepas shubuh engkau sudah bersiap-siap untuk berbelanja keperluan jualan pecal dan kue, pekerjaan yang telah engkau geluti bertahun-tahun sampai kami menginjak remaja, aku terpana seolah engkau tidak pernah kelelahan dalam membesarkan dan mendidik kami, kadangkala engkau ajak aku untuk ikut ke pasar, disana kulihat engkau berbelanja sambil bercengkerama dengan Nyak-nyak meukat gule di pasar Panton Labu hingga pasar Matangkuli tempat engkau berbelanja saat ini setelah kita pulang dari perantauan.

Dulu saya pernah bercerita kepadanya tentang cita-cita yang ingin saya raih, disamping ingin membahagiakan dan mewujudkan harapannya, saya juga ingin sekali menjadi penulis, karena saya yakin banyak perubahan berawal dari sebuah karya tulis. Saya teringat Novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih yang sanggup membius ribuan orang dengan pesan-pesan Islam, saya mengagumi para penulis artikel di media cetak dengan ide-idenya yang sangat brilian dan cemerlang, sekaliber Ampuh Devayan, Muhibuddin Hanafiah, Jarjani Usman yang namanya telah saya kenal semenjak di bangku SLTP dulu, begitu juga Sulaiman Tripa, Saifuddin Bantasyam, dan juga banyak yang lain yang terus memberikan sumbangsihnya untuk masyarakat kita. Saya berhasrat kelak bisa bergabung dengan mereka untuk secara aktif memberikan ide-ide yang telah engkau semai dahulu.

Kulanjutkan goresan penaku kepadanya, untuk itu wahai ibunda, ikhlaskan ananda pergi meninggalkanmu menuntu ilmu untuk sementara waktu, meski terus dihimpit kesulitan ekonomi tapi aku yakin dengan sabda Rasul kita Muhammad Saw yang sering engkau ingatkan dahulu, ’Barangsiapa siapa menempuh jalan untuk menuntu ilmu maka ia telah merintis salah satu jalan ke syurga’, aku juga ingat firman Allah seperti diajarkan Teungku di Dayah, ’Siapa saja yang bertakwa kepadaNya maka Dia akan memberikannya jalan keluar’.
Ibunda, saat ini ketika perjalanan hidup yang kujalani penuh dengan onak dan duri aku-pun mulai menyadari siapa dirimu sebenarnya, bagaimana besarnya jasa-jasamu. Bagiku engkau laksana wanita terbaik yang akan selalu ku kenang sepanjang masa dalam hidupku, aku tak akan pernah melupakanmu, aku akan selalu mendo’akanmu. Insya Allah kelak aku akan mewujudkan semua harapanmu. Dan do’amu adalah senjata bagiku wahai Ibunda….

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fadel Partner Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template