ikhwannya berhati emas
Kini, ketika tiang-tiang suraunya dari emas
ikhwannya berhati kayu
catatan: Surau (mesjid), ikhwan (manusia) Salah satu kecemasan saya, akhir-akhir ini adalah fenomena anak muda, khususnya anak didik dibangku sekolah yang tengah kehilangan arah. Tawuran, terlibat pembunuhan, terlibat narkoba, dan masuk dalam jejaring pekerja sex, menjadi rentetan keprihatinan yang sering kita lihat di televisi. Bahkan, belum berapa lama, kasus nyontek masal yang telah menodai dunia pendidikan.
Saya menawarkan ada sebuah gerakan rekayasa sosial (social enggineering) dari para pengambil kebijakan terhadap tunas-tunas masa depan ini. Salah satunya adalah menumbuhkan akhlakul karimah melalui proses penciptaan kultur yang ‘berbudi santri bertindak intelek’.
Kata ‘Santri’ berasal dari bahasa Sansekerta; san berarti orang baik, tra berarti suka menolong. Maka berbudi santri bertindak intelek bisa diterjemahkan, sumber daya bangsa yang memiliki budi pekerti yang luhur dan memiliki daya saing produktivitas menghadapi goncangan globalisasi.
KH. Hasyim Mudzadi mantan Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), mengatakan, usaha menyantrikan intelektual lebih sulit bila dibandingkan mengintelekkan santri. Kalau mengintelekkan santri, cukup dengan memberikan ilmu pengetahuan. Sementara, menyantrikan intelektual merupakan pembentukan karakter yang prosesnya sangat panjang—yang dalam bahasa saya, perlu direkayasa.
Menurut Ibn Maskawaih, akhlak tidak datang dengan sendirinya atau pembawaan, namun bisa diusahakan secara bertahap melalui proses pendidikan. Sejalan dengan itu, Al-Ghazali memperkuat kalau tujuan dari pendidikan pada hakikatnya mengembangkan budi pekerti yang menyangkut penanaman kualitas moral.
Saya tidak menawarkan metode apa yang harus dilakukan. Namun, kedepan kita merindukan dan kangen dengan anak muda yang memiliki memiliki akhlak, perilaku dan moral yang baik.
1. Berakhlak dalam Perkataan
Ucapan yang baik bukan merubah tata bahasa atau dialek bahasa lokal. Melainkan menempatkan bahasa sebagai alat yang tepat untuk disampaikan kepada orang lain. Bisa membedakan bagaimana berkata didepan orang tua, didepan guru, dan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ada 4 karakter ucapan yang harus dimiliki oleh generasi muda khususnya.
a. Qoulan Layyina atau perkataan yang lembah lembut. (QS.Thaha:44) “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
b. Qoulan Ma’rupa atau perkataan yang baik. (QS. Al-Ahjab:32) “jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.”
c. Qoulan Sadida atau perkataan yang benar. (QS. Al-Ahjab:70). “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar”
d. Kalimu At-Thoyyibu atau perkataan yang baik. (QS. Fathir : 10) “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.
2. Berakhlak dalam Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh. Terletak dalam rongga perut sebelah kanan. Hati menghasilkan empedu yang mencapai ½ liter setiap hari. Empedu berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua. Empedu merupakan cairan kehijauan dan terasa pahit. Zat ini disimpan di dalam kantong empedu.
Hati mencerminkan sikap dan jiwa. Tidak semua orang tahu posisi hati sebagai ‘mustika’ dalam raga. Karenanya seperti apa pentingnya hati, manusia sering lupa. Padahal, posisi hati baik hubungan dengan Tuhan, maupun dengan manusia sangat hakiki. Ada ketulusan, keikhlasan, jiwa profesional, sikap transparan bahkan jiwa pengorbanan yang luar biasa.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Ighatsatul Lahfan min masyayidisy Syaithan (Bekal atau senjata untuk melumpuhkan godaan-godaan Syetan), membagi hati menjadi tiga: (1) Qolbun Salim, yaitu hati yang sehat/selamat. (2) Qalbun Maridh, yaitu hati yang sakit. (3) Qalbun mayyit, yaitu hati yang mati.
Imam Al-Ghazali dalam Kitab ‘Ihya ‘Ulumuddin’ menjelaskan: “Sesungguhnya perumpamaan hati di dalam tubuh manusia seperti kepala negara bagi satu negara. Apabila hati baik maka baiklah pula tubuh. Apabila hati rusak maka rusaklah seluruh tubuh badan. Demikian pula halnya kepala Negara, apabila kepala negaranya baik dan sholeh maka baik dan sholehlah negaranya”.
Rosulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori: “Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh badan manusia ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik maka baiklah seluruh tubuh manusia, dan apabila dia rusak maka rusaklah seluruh tubuh manusia. Ketahuilah, bahwa dia itu adalah hati.”
Dari beberapa definisi, posisi hati merupakan indera terdalam yang hakikatnya bisa menjaga kesinambungan perilaku. Hati bisa menimbulkan sikap keikhlasan, ketulusan, kesadaran dan siap menerima kebenaran. Hati juga bisa menimbulkan sikap sebaliknya, dendam kesumat, iri, dengki, keterpaksaan dan menolak menerima kebenaran.
3. Berakhlak Dalam Tindakan
Contoh sederhana, perilaku seperti sikap ase-ase pakam (merasa diri lebih hebat, lebih kuat, dan lebih segalanya) sudah menyebabkan ketidakseimbangan hidup, karena berada dalam ruang kehidupan palsu. Merasa diri hebat, padahal tidak memiliki kehebatan. Merasa diri kuat padahal tidak memiliki kelebihan. Merasa diri pintar, padahal banyak yang lebih mahir disekitarnya.
Perilaku demikian, jelas sangat berbahaya bagi anak muda kita. Bahkan, yang ingin dibangun dari sikap generasi bangsa ini adalah yang hidup lebih hati-hati, arif, bijaksana dan rendah hati. Dalam kearifan lokal jawa bisoho rumongso ojo rumongso biso (sebisa mungkin untuk sadar diri dan rendah hati, bukan merasa diri paling mampu dan paling bisa). Wallahu’alam
0 komentar:
Posting Komentar