Balada Pemilukada Aceh 2011 (Takut Pada Calon Independen?)

Ada yang bilang kalau kisruh politik Aceh terkini karena adanya ketakutan pihak partai atas calon independen.  Ketakutan atas calon independen  inilah yang kemudian menghasilkan komposisi  hasil pengambilan keputusan melalui voting berikut:  40 orang (59,7 persen) menolak calon independen, sedangkan sisanya 27 orang (40,3 persen) abstain.  Jadi secara fakta politik anggota DPRA yang dipilih oleh rakyat tidak ada yang sepakat dengan calon independen meski dalam retorika politik (pandangan fraksi) ada yang setuju dan ada yang tidak setuju.

Benarkah karena takut? Bisa jadi ada benarnya. Mengacu pada Pilkada Aceh 2006 banyak calon independen berhasil memenangkan Pilkada pertama usai tsunami dan konflik itu. Jadi, mungkin saja calon-calon dari partai menjadi keder nyalinya dalam menghadapi Pemilukada 2011.
Sayangnya, asumsi ini pelan-pelan bisa menjadi lemah jika ditelusuri lebih dalam. Ternyata, pola kemenangan kandidat pada Pilkada 2006 tidak sepenuhnya dikuasi oleh calon yang memilih dari jalur  independen. Sejumlah kandidat yang didukung partai berhasil juga tampil sebagai pemenang khususnya di pemilihan kabupaten/kota.  Kemenangan calon independen di pemilihan gubernur juga tidak cukup mengejutkan karena hanya didukung oleh 38,2 % dari 38% dari 2.104.739 pemilih. Angka ini jauh lebih kecil dibanding kepercayaan politik yang diperoleh Partai Aceh pada Pemilu Legislatif 2009 sebesar  43 persen suara.
Asumsi ketakutan itu semakin lemah kala dihadapkan pada alasan-alasan kemenangan yang dulu diraih oleh calon independen. Dari banyak analisis dan diskusi  yang hingga saat ini masih bisa dibaca di internet bisa disimpulkan dengan sangat pasti bahwa kemenangan calon independen lebih karena ditopang oleh organisasi politik pergerakan paling berpengaruh di Aceh, yang belakangan banyak petinggi dan anggotanya mendirikan Partai Aceh.

Adanya pengaruh GAM/KPA dalam kemenangan calon independen dengan sangat mudah dibuktikan. Lihat saja bagaimana fakta politik menjelaskan bahwa Partai Aceh pada akhirnya memenangkan hati rakyat secara sangat signifikan sehingga mendominasi kursi-kursi di parlemen. Sementara beberapa Partai Lokal lainnya yang kerap melakukan politik klaim dukungan rakyat justru tidak terbukti didukung oleh rakyat.  Jadi, jika ada banyak perubahan politik saat ini sangat bisa dipahami dan dimengerti termasuk sangat bisa dimengerti mengapa peta politik Aceh menjadi sangat zig zaq dan kadang bahkan menjadi sangat “liar” pada tataran retorik dan siasat politik di antara satu meja lobi  ke meja lobi lainnya. Dan wajar juga manakala terjadi perubahan argument dan cara pandang yang cukup cepat dari satu waktu ke waktu lainnya. Ada saatnya tampil dengan argument menerjang dan ada kalanya tampil dengan argument bela habis.  Jika ditelusuri sungguh ternyata sedang terjadi apa yang dulu kerap disebut politik transaksi.

Kalo memang bukan faktor ketakutan lantas faktor apa pula sehingga para politikus di Partai Aceh dan di beberapa partai politik lain tidak setuju terhadap klausul  calon independen dalam Raqan  Pemilukada Aceh 2011?

Okelah politikus  partai-partai  tidak takut pada calon independen. Tapi siapa tahu mereka sebenarnya sedang memendam ketakutan pada pemilih yang mendukung calon independen? Rasanya ini analisis yang menarik dan sangat mungkin benar.

Tapi, tunggu dulu. Ada baiknya jika ditelusuri perilaku pemilih saat ini dan sedikit melirik perilaku pemilih pada Pilkada sebelumnya. Dari hasil survey terkini tentang elektabilitas calon pemimpin sangat sedikit muncul calon dari kalangan independen. Keberadaan sejumlah nama lebih dikarenakan posisinya baik sebagai incumbent maupun sebagai tokoh masyarakat. Di luar incumbent, banyak nama-nama yang diunggulkan adalah sosok yang justru lebih memilih untuk maju melalui jalur partai politik. Begitu juga jika dibaca basil analisis Pilkada 2006 tentang perilaku pemilih yang tidak mempersoalkan latarbelakang sang calon. Siapapun sang calon, kata analisis pada masa itu, sejauh mereka jujur dan mampu maka mereka layak menjadi pemimpin dan siapapun yang dipilih mereka mempercayainya sebagai hasil pilihan demokratis.

Lebih dari itu, jika melirik hasil survey LSI – Golkar tentang calon gubernur Aceh juga terlihat betapa pemilih juga tidak memperlihatkan pilihan final atau tegasnya pada sang calon. Di atas 50 persen ditemukan massa mengambang alias belum menentukan sikapnya.  Bisa jadi karena itulah, Ketua DPD Partai Golkar Aceh Sulaiman Abda masih menyatakan akan mencari calon yang tepat bagi Aceh.  Berikut pernyataannya yang masih bisa dilacak di media “Kami mencari pemimpin yang benar-benar didukung dan akan berbuat untuk kepentingan masyarakat dan mendorong kemajuan pembangunan Aceh, sehingga kondisi daerah ini ke depan lebih baik dan menjadi provinsi yang aman dan sejahtera.”

Jika seluruh asumsi di atas salah maka patut untuk di duga bahwa argumen politikus dan analisator yang mengemukakan adanya ketakutan partai-partai pada calon independen ditujukan untuk kampanye hitam bagi partai-partai. Jika dugaan ini tendensius maka minimal sedang menunjukkan adanya kepanikan para politikus dalam berpolitik di Aceh khususnya mereka yang mendukung calon incumbent.

Partai VS Calon Incumbent

Meski sudah cukup alasan untuk mengabaikan argumen politik yang sedang dihembuskan dalam “perang politik pemilukada Aceh saat ini” tapi masih sangat menarik untuk bertanya sekali lagi siapa tahu bisa pertanyaan berikut bisa sedikit menguak tabir “Balada Pemilukada Aceh 2011.” Jika partai-partai tidak takut pada calon independen dan juga tidak takut pada pemilih yang diasumsi akan memilih calon independen maka adakah ketakutan lain yang perlu dicurigai? Misalnya, jangan-jangan politisi partai sedang mengalami ketakutan pada calon incumbent.

Dibanding melempar tuduhan kosong yang hanya memperlihatkan kekerdilan diri maka sangat elegent manakala melempar dugaan tentang adanya ketakutan pada calon incumbent. Lebih masuk di akal dan sangat mungkin takut. Bisa jadi karena sang calon sudah punya prestasi. Prestasi seseorang lah yang paling mungkin menggetarkan lawan-lawannya. Sayangnya, ketakutan atas calon  incumbent ini bukan hanya milik calon yang berasal dari partai atau yang di dukung partai melainkan juga sangat ditakuti dan disegani oleh calon independen.

Kalau ditelusuri lebih jauh ketakutan pada calon incumbent bukan karena prestasi.  Jarang ada suasana Pemilukada yang  alot dan hangat di tingkat peraturan manakala menyangkut prestasi. Siapapun akan menjadi calon yang senang manakala kalah dengan calon yang berprestasi. Kalau begitu, ketakutan pesaing pada calon incumbent lebih karena adanya mobilisasi kekuasaan, pengaruh, dana, dan jaringan untuk kepentingan pemenangan Pemilukada berikutnya. Ketakutan ini sangat mungkin dan sudah menjadi rahasia umum dan karena itu pula mengapa sampai ada syarat mundur bagi calon incumbent.

Dalam kalimat yang lebih tegas seorang analis politik, Nuruddin menegaskan  bahwa, incumbent selalu lekat dengan ketidakadilan politik yang dilakukannya selama ini. Artinya, ada ketumpangtindihan antara peran dirinya sebagai kepala daerah yang sudah dijabat dengan posisi dirinya sebagai calon. Jika fakta ini tidak bisa diatasi, prinsip keadilan politik dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) tidak akan pernah terwujud. Ulasan ini bermakna bahwa  tidak semua kemenangan incumbent itu murni hasil dari sebuah kompetisi yang sehat melainkan karena sejak awal calon incumbent sudah berinvestasi politik untuk kembali menjadi pemenang melalui pemanfaatan fasilitas negara.

Sampai disini sebenarnya sudah bisa ditemukan “hajat politik” yang dinginkan selama ini oleh banyak politikus di Aceh. Sayangnya, kelemahan komunikasi politik telah menyebabkan “hajat politik” yang dasyat itu menjadi tidak terungkap secara transfaran.  “Hajat Politik” ini masih sangat mungkin muncul di tanoh Aceh ketika di daerah-daerah lain menjadi sesuatu yang semakin sulit dan langka.  Alasan Pemilukada Aceh menjadi Pemilukada inspiratif  masih tetap menjadi daya dorong bagi politikus di Aceh untuk melakukan sekali lagi gebrakan politik yang menginspirasi Pemilukada nasional, yakni bahwa Pemilukada bisa dilakukan dengan semangat fairplay yang tinggi, ada atau tidak ada keikutsertaan calon independen.

Sampai di sini jadi teringat sebuah diskusi bulanan interseksi tentang Pilkada Aceh yang berlangsung 19 Juni  2007. Dalam diskusi Pilkada yang melibatkan pembicara Blair Palmer, Ph.d candidate, Australian National University sempat terbaca catatan simpulan bahwa calon independen hanya sekedar alternative dan bersifat temporer dalam rangka sebatas memberi “rangsangan” politik pada partai agar lebih memihak rakyat.  Bukan tanpa alasan kalau demokrasi memberi tekanan pada pentingnya peran partai politik sebagai salah satu indikator demokrasi yang sehat.

Masih menurut catatan simpulan itu tercatat bahwa berkaitan dengan prinsip akuntabilitas, misalnya, kandidat yang mewakili sebuah atau beberapa partai politik jelas lebih mungkin dituntut akuntabel daripada calon independen yang tidak memiliki keterikatan dengan pihak mana pun. Kalau setelah terpilih seorang calon yang berasal dari partai politik melakukan pelanggaran dalam kebijakannya, misalnya, tekanan dan kontrol bukan hanya akan muncul dari kekuatan oposisi di luar partainya melainkan juga dari dalam partainya sendiri. Ini karena partai tersebut berkepentingan untuk memelihara dukungan politik. Artinya, calon independen memang dibutuhkan sebagai alternatif sementara, tapi demokrasi yang sehat tidak bisa terus-menerus bersandar pada mekanisme pencalonan seperti itu.

http://katainstitute.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fadel Partner Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template