Penolakan Calon Independen Dinilai Strategi untuk Tunda Pilkada

Banda Aceh, (Analisa)
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang menolak memasukkan klausul calon independen (perseorangan) dalam Qanun tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) melalui voting, dinilai sejumlah kalangan merupakan strategi fraksi mayoritas di lembaga legislatif tersebut sebagai pintu masuk untuk menunda pelaksanaan Pilkada dari jadwal yang telah ditetapkan pada 14 November mendatang.
"Menurut saya, penolakan calon independen itu bukanlah esensi atau tujuan akhir yang diinginkan oleh Partai Aceh (PA) di DPRA. Tapi lebih sebagai upaya untuk menunda Pilkada," ujar Anggota DPR-RI asal Aceh, M.Nasir Djamil kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (30/6).

Menurutnya, tujuan penundaan Pilkada yang diinginkan tersebut agar calon gubernur (Cagub) incumbent seperti Irwandi Yusuf, tidak lagi menjabat dalam posisi Gubernur Aceh ketika ingin maju lagi dalam Pilkada mendatang, sehingga tidak bisa lagi memamfaatkan jabatannya untuk mempengaruhi masyarakat dan juga pemerintahan

Dengan penundaan Pilkada ini, tentu akan berimbas juga pada lahirkan penjabat gubernur/bupati/walikota di daerah yang telah habis masa jabatan kepala daerahnya. Untuk tingkat provinsi, tentu seperti Irwandi Yusuf tidak punya pengaruh lagi dan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan politiknya.

Ditambahkan, setelah Qanun Pilkada disahkan tanpa dimasukkannya calon independen, selanjutnya qanun tersebut akan diserahkan kepada Gubernur Aceh paling lambat tujuh hari, kemudian dalam tujuh hari kedua diteruskan ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk dikoreksi paling lama 15 hari sebelum dikembalikan lagi kepada Pemerintah Aceh untuk ditandatangani Gubernur dan dimasukkan dalam Lembaran Daerah.
"Itu kalau semuanya berjalan lancar, tapi inikan sudah jelas akan mentok karena Gubernur Aceh sejak awal telah menyatakan akan menolak menandatangani qanun tersebut karena tidak ada kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Belum lagi penolakan oleh Mendagri karena tidak ada calon independen seperti diputuskan. Tolak-tarik dan berlarut-larutnya waktu untuk proses ini hingga berbulan-bulan akan menyebabkan jadwal Pilkada diundur karena tidak adanya regulasi untuk melaksanakannya," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Menurutnya, dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh sangat membutuhkan aturan yang jelas yang disahkan oleh DPRA tanpa adanya pro kontra di tengah masyarakat. Tapi, yang terjadi saat ini justru masih terus terjadi konflik regulasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini. "Terus terang masyarakat Aceh sekarang bingung, ini mana yang benar dan siapa yang harus didengar. Kalau masalah Pilkada ini tidak jelas ujung pangkalnya, korbannya masyarakat juga," jelasnya.

Konflik Baru
Nasir Djamil juga mengingatkan, Pilkada jangan sampai melahirkan konflik baru di Aceh. Apalagi, Pilkada hanya pesta demokrasi lima tahunan, ada kepentingan rakyat lebih besar yang harus diperhatikan. Tapi kalau keadaanya seperti ini terus kapan masyarakat bisa hidup dengan tenang. Sebenarnya masih ada peluang antara pemerintah dan lembaga dewan untuk kembali membuka komunikasi politik, dan mencari jalan keluar yang sama-sama menguntungkan.

Sementara Mukhis Mukhtar SH, praktisi hukum di Aceh menyatakan, semua pihak saat ini terkesan mau menang sendiri. Pemerintah arogan, DPRA tidak mau kalah dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) selaku pelaksana Pilkada juga ingin jalan sendiri.

"Saya tidak mau membahas voting yang dilaksanakan di DPRA, karena itu adalah mekanisme politik, mekanisme penyelesaian masalah. Tapi jika melihat dari aturan hukum, kondisi Aceh hari ini bisa dikatakan seperti mobil di jalanan macet. Sudah terjadi konflik regulasi. Semua ingin jalan dengan aturan masing-masing, tapi semua terjebak dalam kemacetan. Karena, aturan hukum atau qanun harus dijalankan berdasarkan kesepakatan antara eksekutif dan legislatif," sebutnya.

Parahnya lagi, tambah mantan Anggota DPRA ini, di saat kedua pihak ini belum mencapai kata sepakat, KIP juga ikut berjalan dengan aturan sendiri. Khusus KIP, diharapkan tunduk kepada UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) yang melahirkannya.
Disebutkan, Qanun Pilkada lama (Qanun Nomor 7 tahun 2007) tidak boleh dipakai tanpa persetujuan dari DPRA. Seperti juga Qanun Pilkada baru yang disahkan DPRA juga tidak boleh dijalankan tanpa persetujuan Gubernur.

"Jadi saya pikir, sekarang harus ada solusi bersama untuk mengatasi persoalan ini. Para tokoh-tokoh Aceh di Jakarta dan daerah lainnya, harus bisa memfasilitasi agar eksekutif dan legislatif bisa mencapai kesepakatan. Sungguh sangat disayangkan, ketika pilkada yang kerap disebut sebagai pesta demokrasi rakyat malah menjadi awal dari hancurnya masa depan Aceh," terangnya. (mhd)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Fadel Partner Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template