Saat Maling Lebih Pintar Dibanding Pemilik Rumah

Saifuddin Bantasyam
Oleh : Saifuddin Bantasyam

Korupsi memang sudah seperti menu sehari-hari di republik ini, tiada putus, dan seperti han jra-jra (tidak ada jeranya). Seorang karib saya yang sangat gregetan, mengusulkan agar para koruptor dihukum dengan hukuman-hukuman sebagai berikut: (a) hukuman mati; (b) seluruh harta dan aset disita buat negara, dan dilacak hingga luar negeri; (c) pendidikan anaknya dicekal, tidak bisa bersekolah di universitas negeri; (d) anaknya tidak dapat berkarir di instansi pemerintah dan tidak bisa jadi pejabat; (e) tidak mendapat subsidi dari pemerintah (BBM maupun listrik dan lain-lain); (f) dicabut hak pilih dan memilih; (g) diumumkan di media massa untuk agar masuk daftar hitam (black list) di perusahaan2; (h) tidak bisa mendapatkan bantuan kredit dari bank; dan (i) apabila ada perang, langsung ditaruh di barisan paling depan.

Tentu saja, dari segi Hak Asasi Manusia, ada diantara sekian usulan di atas yang bermasalah. Namun, namanya saja “gregretan,” jadi dia mungkin sudah tidak lagi memikir soal HAM itu segala.  Seorang teman saya yang lain menambahkan; kalau sang koruptor adalah seorang muslim, maka jika meninggal maka jenazahnya jangan dishalatkan. Kalau tak salah, organisasi NU pada Mai lalu sudah setuju. Ada lagi usulan yang lebih ngeri; jika korupsi diatas Rp 1 milyar, maka koruptor itu dkenakan hukuman mati dan kemudian mayatnya dicincang-cincang buat kesejahteraan pelestarian buaya di swaka marga satwa.

Sambil berguyon, teman saya yang lain lagi, menyarankan agar di Aceh, seorang koruptor dikenakan hukuman dalam bentuk cubitan oleh seluruh warga kota. Kalau di Banda Aceh, maka koruptor itu dipajang di Taman Ratu Safiatuddin, dari jam 8.00- 18.00 dengan rehat saat makan siang dan shalat (jika sang koruptor tetap menjaga sembahyangnya). Jadi, selama sekian jam itu, seluruh warga kota datang berduyun-duyun dan “menyedekahkan” cubitan sekali seorang, dengan kekuatan tertentu, terserah mau memilih di bagian mana dari badan koruptor itu kecuali di bagian kelamin (dan buah dada, jika koruptornya perempuan). Bagaimana dengan cambuk? “Oh, jangan, nggak lagi sexy, orang-orang pada nggak peduli tentang eksekusi cambuk itu,” kata teman saya tersebut.

Demikianlah. Korupsi memang sudah sedemikian merajalela di negeri ini, baik oleh birokrasi maupun oleh dunia swasta. Kasus Hakim Syarifuddin (untung tak mirip dengan nama saya) yang diciduk oleh KPK beberapa hari lalu menjadi contoh terkini, yang mungkin bukan yang terakhir, yang sekaligus merupakan refleksi betapa berat misi bangsa memberantas korupsi. Bukan tak mungkin kasus Hakim S tersebut nantinya akan menyeret para koleganya. Hakim S adalah hakim yang setidak-tidaknya telah memutus bebas 34 terdakwa koruptor. Bukan main!

Pemerintah sesungguhnya tak tinggal diam. Telah banyak langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi melalui cara-cara yang konvensional, semisal perbaikan pada tingkat sistem, meningkatkan kapasitas SDM serta menambah fasilitas. Namun, ternyata semua itu belum cukup. Benar kata banyak orang, hukum yang baik tidak ada gunanya tanpa manusia yang baik.

KPK sang Super Body

Pembentukan KPK merupakan indikasi tak terbantahkan bahwa lembaga kepolisian dan kejaksaan tidak bisa sepenuhnya diharapkan untuk memberantas korupsi, meskipun secara normatif ke dua lembaga itu diberi wewenang untuk menyelidik dan menyidik perkara korupsi. Ketika Komisi Yudisial dibentuk, ini juga merupakan bukti bahwa hakim tidak dapat lagi dipercaya melakukan aktivitasnya tanpa pengawasan, apalagi dalam menangangi kasus-kasus korupsi. Publik sudah kerap mendengar adanya mafia-mafia peradilan bermain sedemikian rupa, melakukan jual beli perkara dengan biaya ratusan juta rupiah.

KPK dibentuk melalui UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaga ini antara lain bertugas melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang antara lain melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; meminta keterangan lembaga keuangan (bank), memerintahkan pemblokiran rekening tersangka, dan meminta bantuan Interpol atau instansi penegak hukum di negeri lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

Dengan tugas dan wewenang yang sedemikian luas itu, KPK pun kemudian dijuluki sebagai super body (lembaga raksasa). KPK seperti keluar dari satu sistem yang biasa dipakai, criminal justice system, yang melibatkan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. KPK masuk, dan kemudian seperti yang banyak dilihat publik, membuat berbagai pihak gentar. KPK punya wewenang KPK untuk menyadap. Pokoknya KPK, di tengah-tengah tuduhan pilih kasih, tetap lembaga yang patut kepadanya kita gantungkan harapan.

Legislatif Berubah?

Salah satu problem pemberantasan korupsi di Indonesia adalah karena korupsi itu berlangsung dalam tiga locus, yaitu politik, birokrasi dan hukum. Itu sebabnya KPK tak jauh-jauh dari gedung DPR Senayan, atau masuk ke sejumlah gedung kementerian.  KPK telah bergerak ke arah yang diinginkan oleh publik, menjadikan lembaga legislatif sebagai salah satu target dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Sebab korupsi di legislatif sangat berbahaya, karena dilakukan dalam produk peraturan perundang-undangan yang sah sebagai kebijaka negara (corruption by policy).

Korupsi di legislatif, tulis Prof Eko, seorang akademisi UI, menyangkut (1) faktor mental-politik yang membentuk sikap mental, pola pikir, etika dan perilaku anggota dewan; (2) faktor struktural, ketidaksetaraan sistem birokrasi dan sistem politik, menempatkan posisi legislatif lebih kuat dibanding eksekutif; (3) faktor infrastruktur, tidak adanya tujuan yang jelas dari setiap pembentukan UU; dan (4) faktor kultural, dalam bentuk antara lain lemahnya pengawasan oleh masyarakat, sehingga menyebabkan terjadinya transaksi ekonomi politik korupsi di DPR-RI.

Sejumlah politisi di Gedung DPR-RI Senayan, sedemikian gerah atas sepak terjang KPK, sehingga selama April dan Mai 2011 ini media massa cetak dan elektronik memberitakan adanya niat dari para politisi di Senayan untuk meninjau ulang UU No. 30/2002, daripada mengatakan membubarkan KPK. Alasan mereka; KPK telah terlalu berlebih-lebihan dalam melaksanakan tugas dan wewenang. Ini konyol, sebab mereka juga dulu yang menyetujui segala tugas dan kewenangan yang dimiliki KPK sekarang.

Tahun lalu, pernah ada situasi menari di Senayan. Menyusul serangkaian gebrakan KPK, media melaporkan adanya perubahan sangat ektrim dalam perilaku para politisi di perlamen. Perubahan itu diantaranya politisi Senayan mulai sulit dihubungi melalui telepon seluler karena takut disadap, mengganti nomor telepon, mematikan telepon atau tidak membawa telepon saat bertugas di Senayan. Di samping itu, mereka menurunkan secara drastis frekuensi rapat-rapat komisi dengan mitra kerja turun drastis, tidak menghadiri rapat atau hadir tapi tidak menandatangani absen, mengalihkan tempat pertemuan (dari hotel-hotel ke coffee shop di mall). Perubahan lain, berkurangnya komunikasi sesama anggota DPR saat rapat komisi, menghindari kamera pengintai (CCTV) dan cenderung mencurigai tamu yang tidak dikenal.
Ada banyak jalan ke Roma, demikian juga dalam memberantas korupsi; tersedia banyak cara. Di Cina, para koruptor dikenakan hukuman mati, dan hasilnya, intensitas korupsi menurun tajam. Jika cara-cara penyadapan oleh KPK di Indonesia membuat gentar banyak pihak, mulai dari pejabat, penegak hukum, anggota dewan dan pihak swasta, maka mungkin penyadapan itu perlu diintensifkan. Tetapi bagaimana jika kemudian para calon koruptor atau koruptor memakai bahasa isyarat, tidak lagi bertransaksi melalui telepon? Kata teman saya, di Indonesia mah,  bukan hanya banyak jalan menuju Roma, melainkan juga menuju ke korupsi. Bagaimana jika maling lebih pintar daripada pemilik rumah?

**Bekerja di Fakultas Hukum  dan Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.

1 komentar:

lane hemings on 12 Januari 2020 pukul 22.24 mengatakan...

izin share ya admin :)
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Line : agen365
WA : +855 87781483 :)
Silakan di add ya contaknya dan Bergabung juga ya :)

Posting Komentar

 

Fadel Partner Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template