Kawasan Rawan Ternak "jln.line pipa" aceh utara |
Plat kendaraan bermotor untuk Aceh dengan simbol BL mencerminkan realitas kondisi jalan raya yang sesungguhnya, “Banyak Lembu”. Realitas tersebut berbuah mungkin bukan untuk yang terakhir kali. Saya mencatat, Senin (14/09/10) jam 14.00 WIB kecelakaan lalu lintas terjadi di Jalan Line Pipa ExxonMobil Aceh Utara. Lagi-lagi kecelakaan yang diakibatkan oleh lembu. Kita pantas prihatin dan duka mendalam atas korban sia-sia akibat kecelakaan yang terjadi berkali-kali, yang sebenarnya sama sekali tidak perlu—hanya karena ternak yang lepas bebas.
Semestinya kita layak malu, bahwa selama bertahun-tahun negeri ini merdeka, belum ada seorang pun pemimpin di Aceh yang mampu menyelesaikan masalah ternak di jalanan. Ini merupakan sebuah cerminan tentang rendahnya kualitas kepemimpinan dan manajemen dari pemerintahan di Aceh.
Kita tidak perlu berharap akan lahirnya kehidupan yang lebih baik di negeri ini dengan kualitas kepemimpinan dan manajemen pemerintahan seperti di negeri bersyariat ini. Pasalnya, mengurusi lembu saja tidak pernah beres, bagaimana pula mengurusi hal-hal lain yang jauh lebih rumit?
Sebagai sebuah contoh kasus, kita yang berada di Lhokseumawe & Aceh Utara tidak perlu jauh untuk melihat lembu-lembu yang mengandangkan diri pada malam hari di jalanan di seputaran Jalan Line Pipa ExxonMobil. Sebuah “even” yang terjadi di setiap malam selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Pertanyaan kita semua, apa yang dilakukan oleh pemerintahan Kabupaten Aceh Utara dalam masalah ini? Mengapa membiarkan hal itu terjadi? Atau memang kenyataan bahwa Lembu di jalan-jalan bukan masalah? Sebuah pemerintahan yang bekerja tanpa standar.
Ternak di jalan-jalan Aceh merupakan gambaran tentang absennya makna keteraturan di negeri syariat. Orang bebas merokok dalam bus tertutup dan ber-AC, orang bebas bersepeda motor berendengan sambil ngobrol menutup separuh badan jalan, di Aceh ini pula kita tidak dapat membedakan makna lampu merah, hijau dan kuning.
Absennya keteraturan bisa diakibatkan oleh ketiadaan aturan yang mengatur bagaimana seharusnya ternak tersebut dikelola oleh pemiliknya. Absennya keteraturan di negeri syariah ini boleh jadi akibat penegakan aturan tidak berjalan semestinya walaupun aturannya telah ada. Besar kemungkinan peraturan yang ada tersebut disusun berdasarkan pendekatan proyek, yang penting anggaran proyek terserap dan aturannya selesai sesuai pesanan, tanpa mau tahu apakah peraturan tersebut dapat ditegakkan dan bermanfaat bagi masyarakat? Aturan tinggal aturan yang tersimpan rapi dalam bufet kantor-kantor pemerintah dan legislatif untuk kepentingan pemeriksaan formal. Jadinya, mirip sebuah sindiran, bahwa aturan dibuat hanya untuk dilanggar.
Dalam konteks tulisan ini, Pemerintah kita tidak pernah memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi mana masalah penting dan tidak penting, mana yang mendesak dan tidak mendesak sehingga tidak pernah ada skala prioritas. Dalam penegakan aturan di negeri syariah ini, pemerintahnya sangat terfokus pada masalah aurat perempuan dan tidak menganggap penting masalah keselamatan pengguna jalan. Dalam konteks ini pula rakyat negeri ini tidak merasakan kehadiran pemerintahan yang berperan melindungi kepentingan mereka, padahal negeri ini telah menghidupi para anggota legislatif dan eksekutif dengan berbagai fasilitas mewah yang jauh di atas dari apa yang dapat dinikmati oleh rakyat yang diwakili dan memilihnya.
Boleh jadi, lepas bebasnya ternak di jalan-jalan Aceh merupakan sebuah gambaran tentang rendahnya etika berusaha dari sebagian masyarakat negeri ini. Pemilik yang melepaskan ternak secara serampangan adalah mereka yang hanya berkeinginan memperoleh hasil tanpa harus bekerja keras, tidak perlu menanam rumput, memotongnya, mencacahnya menjadi pakan yang menyenangkan bagi ternaknya. Mereka tidak pernah berpikir dan mau berpikir bahwa ternaknya akan merugikan orang lain, apakah ternaknya akan merusak tanaman orang lain atau bahkan membahayakan nyawa orang lain dan membahayakan ternaknya itu sendiri.
Dalam konteks ke-Aceh-an, mereka yang dirugikan akibat tanamannya dirusak ternak bebas lepas adalah mereka yang patut dipersalahkan karena tidak membuat pagar. Membuat pagar adalah kewajiban bagi siapa saja yang ingin bertanaman agar lembu dan kambing tetap bisa bebas lepas sebagaimana bebas merdekanya masyarakat negeri ini. Itu adalah hukum yang berlaku dalam masyarakat kita. “Barang siapa yang ingin bertani dan bertanaman maka mereka berkewajiban untuk membuat pagar.” Demikianlah konvensi yang berlaku. Hukum yang tiada tertulis yang dijalankan tanpa azas keadilan. Masyarakat kita tak pernah berhitung berapa biaya yang harus dikeluarkan dan berapa pengembalian yang dapat diharapkan dari tanamannya. Dalam hitungan ekonomi, usaha demikian tidak pernah akan layak karena dipastikan bahwa net present value (NPV) akan negatif.
Dalam suatu lingkungan yang membuat dunia usaha tidak menguntungkan akan membuat setiap orang malas berusaha. Dapat dipastikan bahwa orang Jawa dan Cina yang terkenal ulet juga akan menjadi malas apabila hidup atau tinggal di tengah-tengah masyarakat yang sangat menghormati lembu dan kambing. Siapa yang sanggup menanam singkong/ubi jalar, bayam, sawi, dan sebagainya apabila harus membuat pagar yang menjamin kambing tidak akan lolos. Berapa investasi untuk pagar yang harus dikeluarkan, dan bandingkan dengan hasil panen yang harus diperoleh? Bandingkan masyarakat Lampung Tengah yang menanam singkong yang begitu luas tanpa satu bentang pun pagar diperlukan untuk melindungi tanaman mereka. Atau, bandingkan dengan masyarakat Karo yang menanam jagung hingga ke batas bahu jalan.
Orang-orang Jawa yang hidup di tengah lingkungan transmigrasi adalah orang-orang hidup di tengah masyarakat yang tidak membiarkan ternaknya berkeliaran merusak tanaman orang lain dan mengganggu lalu lintas jalan umum. Kita mendapati orang–orang Jawa yang hidup di lingkungan transmigrasi adalah orang-orang yang berhasil dengan sistem pertaniannya dan dengan keteraturan masyarakatnya.
Dalam kondisi yang sama, kita akan mendapati masyarakat Aceh yang mau bertanam apa saja, berusaha dengan baik di sektor pertanian sepanjang tidak ada ternak kambing dan sapi berkeliaran merusak tanaman mereka. Dalam kondisi tanpa ternak kambing dan lembu yang berkeliaran, petani kita tidak harus mengeluarkan biaya tambahan untuk pagar yang tidak kecil nilainya.
Masalah ternak lepas bebas berakar dari sebab bahwa strain sapi yang ada di Aceh memiliki growing rate yang sangat rendah. Sehingga apabila sistem ternak dilakukan secara kurungan dan dengan cara diberi asupan pakan yang cukup tetap tidak akan menguntungkan karena pertumbuhan berat badan yang sangat rendah. Satu-satunya cara beternak yang menguntung adalah dengan melepas bebas, namun sayang ternaknya tidak dilepaskan di padang gembalaan, tapi dilepas ke mana saja, suka-suka ke mana ternaknya pergi, mau kebun orang silakan, mau di jalanan juga silakan.
Pemilik sapi yang memiliki growing rate yang tinggi hanya dimiliki oleh para pejabat peternakan. Hanya sebagian kecil dimiliki oleh segelintir peternak modern. Sentuhan pembinaan Dinas Peternakan tidak pernah mampir bagi peternak kampung. Tidak pernah ada penyuluhan tentang jenis sapi apa yang menguntungkan, bagaimana beternak yang baik dan menguntungkan. Bagaimana memperoleh strain sapi yang baik yang memiliki growing rate yang tinggi sehingga tetap menguntungkan walaupun diternakkan dengan sistem kurungan. Apa yang kita saksikan, peternak sapi kita melepas bebas ternaknya ke mana saja merupakan cerminan tentang buruknya manajemen pembinaan sektor peternakan di negeri ini.
Sangat boleh jadi pula bahwa ternak yang lepas bebas di jalan-jalan merupakan penghormatan kita yang berlebihan terhadap lembu sebagaimana dicontohkan masyarakat di negeri leluhur. Dalam kondisi ini, kita boleh melupakan harapan terhadap perbaikan kondisi ini
0 komentar:
Posting Komentar