"Jalan Teuku Umar Kota Langsa" |
SUDAH lebih Sembilan tahun Langsa menjadi kotamadya. Itu artinya, sudah selama itu pula Langsa memiliki hak untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri sesuai dengan Undang-undang Otonomi Daerah.
Seiring itu, tentu patut pula dimunculkan sebuah pertanyaan: sudah seberapa jauhkah Langsa melangkah mewujudkan cita-citanya sebagaimana yang dituangkan dalam lambang daerah.
Perubahan memang terjadi di kota ini. Paling mencolok tentu perubahan fisik. Sejak berubah status dari kota administratif menjadi kotamadya--berpisah dari Aceh Timur sebagai kabupaten induk--berbagai perubahan fisik itu cukup kentara, terutama di wilayah inti kota.
Setelah sempat tidak kunjung selesai bertahun-tahun, akhirnya jalan nan lebar dua jalur bisa diwujudkan di sisi timur. Ruas jalan mulai Simpang Tugu hingga Titik Kembar sudah diaspal, dan jembatan-jembatannya sudah dan sedang diganti dengan yang lebih bagus.
Di inti kota, berbagai bangunan berkonstruksi beton berdiri berderet di hampir sepanjang jalan protokol: Jalan Ahmad Yani. Bahkan, tanah milik PT PJKA (kereta api) yang dulu adalah tempat berdirinya rumah-rumah panggung dari kayu, kini sudah menjadi bangunan permanen.
**************
NAMUN, jika ditelisik lebih jauh, apakah perubahan itu sama dengan kemajuan ekonomi signifikan sudah terjadi di Langsa? Jujur saja, masih patut diragukan. Jawabannya bisa kita temukan justru di wilayah periferal atau pinggiran kota ini sendiri.
Sebagai contoh adalah Desa Alue Dua, Kecamatan Langsa Baroh. Dulu, periode 1980-an hingga akhir 1990-an desa ini dikenal sebagai kawasan industri Aceh Timur. Bahkan, denyut kehidupan Langsa sangat terpengaruh dengan denyut kehidupan di desa ini.
Di Desa Alue Dua beroperasi dua perusahaan kayu lapis. Selain itu, di desa tetangganya, Timbang Langsa, beroperasi pabrik lem. Kedua pabrik kayu lapis (plywood) itu beroperasi 24 jam. Untuk itu, diperlukan shift (pergantian jadwal kerja) para karyawannya. Salah satu jadwal pergantian shift itu adalah pada malam hari, antara pukul 22.00-23.00 WIB. Tak heran, untuk memenuhi kebutuhan angkutan umum, angkot (di kota kita ini tentu saja dikenal dengan sebutan sudako) ada yang beroperasi hingga malam hari sesuai dengan jadwal itu, bahkan pada malam minggu hingga dini hari.
Saat konflik kembali pecah, kedua pabrik kayu lapis ini berhenti beroperasi. Ribuan karyawan akhirnya dipecat (PHK massal). Dan sejak saat itu, denyut ekonomi Kota Langsa mulai meredup.
Kini, kedua pabrik itu tak lagi berproduksi. Desa Alue Dua sampai sekarang terkesan mati suri. Data pasti memang belum tersedia. Tapi, yang pasti, jumlah pengangguran di wilayah ini masih banyak: apakah itu pengangguran terbuka atau setengah pengangguran--saya tidak paham ilmu ekonomi, tapi kalau pekerja serabutan alias mocok-mocok masuk dalam kategori setengah pengangguran maka asumsi saya ini tidak salah sepenuhnya.
Wilayah pinggiran lainnya, seperti Matang Seulimeng, Kuala Langsa, Timbang Langsa, Langsa Lama dan Alue Pinang, dan desa-desa lain juga bernasib sama.
*********************
DITINJAU dari luas wilayah dan peruntukannya, ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan untuk memajukan Kota Langsa. Sektor itu terutama sekali ialah pendidikan, perdagangan, dan jasa. Untuk sektor pertanian, perkebunan, kelautan, meskipun berpeluang menjadi sumber pendapatan daerah, namun tidak bisa diandalkan dalam jangka panjang. Karena, perkembangan beberapa sektor lain akan menggerus sektor ini.
Ambil contoh pertanian (sawah) dan perikanan (tambak). Saat ini kedua potensi itu masih bisa ditingkatkan. Namun, dalam jangka 10-15 tahun ke depan, sudah tidak potensial lagi, terutama dilihat dari luas lahan. Sebab, pertambahan penduduk akan memacu konversi (perubahan) peruntukan lahan-lahan pertanian dan perikanan tambak itu. Khusus perikanan tambak sudah mulai kita bisa lihat gejalanya dari berdirinya perumahan dan bangunan-bangunan gedung di sekitar Matang Seulimeng dan Jalan Kuala Langsa.
Tak ada jalan lain, Pemerintah Kota (Pemko) Langsa, sudah seharusnya mengarahkan upaya memajukan Langsa ini dengan mengembangkan potensi sektor pendidikan, perdagangan, dan jasa semaksimal mungkin. Sumber daya alam (SDA) sudah tidak bisa diandalkan sebagai penopang utama. Karena itu, sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya buatan (jasa) harus dioptimalkan.
Secara sekilas, sektor pendidikan sangat menjanjikan. Hingga saat ini, banyak lembaga pendidikan di kota ini, mulai dari pra sekolah hingga menengah atas, menjadi favorit. Ini modal sosial dan citra yang luar biasa. Maka, modal sosial dan citra itu harus terus dikembangkan.
Caranya antara lain meningkatkan kualitas tenaga pendidik. Guru-guru terus ditingkatkan kemampuannya mengajar. Sekolah-sekolah favorit ini terus dilengkapi prasarana dan sarana belajarnya.
Agar keuntungannya maksimal bagi upaya peningkatan kesejahteraan kota ini, tentu arahnya adalah menjadikan mereka insan cendekia sekaligus berjiwa bisnis. Kurikulum yang memuat pendidikan kewirausahaan harus dikembangkan sejak awal.
Langkah sama dikembangkan di tingkat perguruan tinggi. Dari kemampuan menyerap peserta didik, baik tingkat pra sekolah hingga perguruan tinggi, memang bisa menambah gairah kehidupan ekonomi karena juga membuka lapangan usaha. Tapi, itu adalah hasil sementara. Namun, alangkah menggembirakannya--dalam pandangan saya—jika hasil akhirnya adalah Kota Langsa memiliki perguruan-perguruan tinggi yang berkualitas tinggi, baik dalam menghasilkan lulusan maupun menjadi tulang punggung untuk merumuskan berbagai kebijakan pembangunan.
Ringkasnya: Pemko Langsa misalnya membantu mengarahkan perguruan tinggi di kota ini menjadi perguruan tinggi riset aplikatif dan kader pengusaha yang hasilnya bisa dipakai bukan hanya oleh Pemko Langsa, tapi setidaknya Pemkab Aceh Timur dan Pemkab Aceh Tamiang.
****************
KEBIJAKAN di sektor jasa dan perdagangan juga diarahkan untuk mengurangi tingkat ketergantungan pertumbuhan ekonomi dari SDA. Apalagi, sebenarnya harus kita akui, sejatinya SDA Kota Langsa tidak mampu untuk dijadikan tulang punggung mewujudkan kesejahteraan yang diinginkan karena hasilnya juga sangat minim. (bayangkan saja jumlah PAD yang bisa diperoleh hingga tahun lalu)
Seperti diyakini, Singapura bisa menjadi contoh. Negara kota ini wilayahnya sangat kecil. Akan tetapi, dia mampu berkembang besar menjadi sebuah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi luar biasa. Caranya, hanya membangun kekuatan sumber daya buatan: jasa dan perdagangan.
Sekarang, bukan hanya kedua sektor itu yang menjadi andalan mereka. Singapura juga sudah menjadi salah satu negara tujuan utama untuk pendidikan bermutu. Banyak tamatan sekolah menengah atas bermutu tinggi dari Indonesia yang menempuh pendidikan ke Negeri Singa ini--baik direkrut dengan memberikan beasiswa maupun keinginan sendiri.
Memang pada akhirnya, yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma, cara pandang kita terhadap kota ini baik segala potensi maupun kekurangannya. Keduanya harus diukur secara cermat untuk kemudian bisa menghasilkan kebijakan tepat membangun (ulang) kota ini.
Tantangan sudah pasti ada. Kalaupun tantangan itu ada dalam diri kita yang memandang dan menjalankan semuanya "as business usual", maka inilah yang harus kita ubah.
Boleh jadi pandangan "as business usual" itu ada dalam diri orang lain. Kita bisa beruntung jika tidak demikian. Namun, tentu akan jauh lebih sulit jika kita sendiri juga bersikap sama. Apalagi kalau sampai mulai muncul benih keputusasaan.
Seiring itu, tentu patut pula dimunculkan sebuah pertanyaan: sudah seberapa jauhkah Langsa melangkah mewujudkan cita-citanya sebagaimana yang dituangkan dalam lambang daerah.
Perubahan memang terjadi di kota ini. Paling mencolok tentu perubahan fisik. Sejak berubah status dari kota administratif menjadi kotamadya--berpisah dari Aceh Timur sebagai kabupaten induk--berbagai perubahan fisik itu cukup kentara, terutama di wilayah inti kota.
Setelah sempat tidak kunjung selesai bertahun-tahun, akhirnya jalan nan lebar dua jalur bisa diwujudkan di sisi timur. Ruas jalan mulai Simpang Tugu hingga Titik Kembar sudah diaspal, dan jembatan-jembatannya sudah dan sedang diganti dengan yang lebih bagus.
Di inti kota, berbagai bangunan berkonstruksi beton berdiri berderet di hampir sepanjang jalan protokol: Jalan Ahmad Yani. Bahkan, tanah milik PT PJKA (kereta api) yang dulu adalah tempat berdirinya rumah-rumah panggung dari kayu, kini sudah menjadi bangunan permanen.
**************
NAMUN, jika ditelisik lebih jauh, apakah perubahan itu sama dengan kemajuan ekonomi signifikan sudah terjadi di Langsa? Jujur saja, masih patut diragukan. Jawabannya bisa kita temukan justru di wilayah periferal atau pinggiran kota ini sendiri.
Sebagai contoh adalah Desa Alue Dua, Kecamatan Langsa Baroh. Dulu, periode 1980-an hingga akhir 1990-an desa ini dikenal sebagai kawasan industri Aceh Timur. Bahkan, denyut kehidupan Langsa sangat terpengaruh dengan denyut kehidupan di desa ini.
Di Desa Alue Dua beroperasi dua perusahaan kayu lapis. Selain itu, di desa tetangganya, Timbang Langsa, beroperasi pabrik lem. Kedua pabrik kayu lapis (plywood) itu beroperasi 24 jam. Untuk itu, diperlukan shift (pergantian jadwal kerja) para karyawannya. Salah satu jadwal pergantian shift itu adalah pada malam hari, antara pukul 22.00-23.00 WIB. Tak heran, untuk memenuhi kebutuhan angkutan umum, angkot (di kota kita ini tentu saja dikenal dengan sebutan sudako) ada yang beroperasi hingga malam hari sesuai dengan jadwal itu, bahkan pada malam minggu hingga dini hari.
Saat konflik kembali pecah, kedua pabrik kayu lapis ini berhenti beroperasi. Ribuan karyawan akhirnya dipecat (PHK massal). Dan sejak saat itu, denyut ekonomi Kota Langsa mulai meredup.
Kini, kedua pabrik itu tak lagi berproduksi. Desa Alue Dua sampai sekarang terkesan mati suri. Data pasti memang belum tersedia. Tapi, yang pasti, jumlah pengangguran di wilayah ini masih banyak: apakah itu pengangguran terbuka atau setengah pengangguran--saya tidak paham ilmu ekonomi, tapi kalau pekerja serabutan alias mocok-mocok masuk dalam kategori setengah pengangguran maka asumsi saya ini tidak salah sepenuhnya.
Wilayah pinggiran lainnya, seperti Matang Seulimeng, Kuala Langsa, Timbang Langsa, Langsa Lama dan Alue Pinang, dan desa-desa lain juga bernasib sama.
*********************
DITINJAU dari luas wilayah dan peruntukannya, ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan untuk memajukan Kota Langsa. Sektor itu terutama sekali ialah pendidikan, perdagangan, dan jasa. Untuk sektor pertanian, perkebunan, kelautan, meskipun berpeluang menjadi sumber pendapatan daerah, namun tidak bisa diandalkan dalam jangka panjang. Karena, perkembangan beberapa sektor lain akan menggerus sektor ini.
Ambil contoh pertanian (sawah) dan perikanan (tambak). Saat ini kedua potensi itu masih bisa ditingkatkan. Namun, dalam jangka 10-15 tahun ke depan, sudah tidak potensial lagi, terutama dilihat dari luas lahan. Sebab, pertambahan penduduk akan memacu konversi (perubahan) peruntukan lahan-lahan pertanian dan perikanan tambak itu. Khusus perikanan tambak sudah mulai kita bisa lihat gejalanya dari berdirinya perumahan dan bangunan-bangunan gedung di sekitar Matang Seulimeng dan Jalan Kuala Langsa.
Tak ada jalan lain, Pemerintah Kota (Pemko) Langsa, sudah seharusnya mengarahkan upaya memajukan Langsa ini dengan mengembangkan potensi sektor pendidikan, perdagangan, dan jasa semaksimal mungkin. Sumber daya alam (SDA) sudah tidak bisa diandalkan sebagai penopang utama. Karena itu, sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya buatan (jasa) harus dioptimalkan.
Secara sekilas, sektor pendidikan sangat menjanjikan. Hingga saat ini, banyak lembaga pendidikan di kota ini, mulai dari pra sekolah hingga menengah atas, menjadi favorit. Ini modal sosial dan citra yang luar biasa. Maka, modal sosial dan citra itu harus terus dikembangkan.
Caranya antara lain meningkatkan kualitas tenaga pendidik. Guru-guru terus ditingkatkan kemampuannya mengajar. Sekolah-sekolah favorit ini terus dilengkapi prasarana dan sarana belajarnya.
Agar keuntungannya maksimal bagi upaya peningkatan kesejahteraan kota ini, tentu arahnya adalah menjadikan mereka insan cendekia sekaligus berjiwa bisnis. Kurikulum yang memuat pendidikan kewirausahaan harus dikembangkan sejak awal.
Langkah sama dikembangkan di tingkat perguruan tinggi. Dari kemampuan menyerap peserta didik, baik tingkat pra sekolah hingga perguruan tinggi, memang bisa menambah gairah kehidupan ekonomi karena juga membuka lapangan usaha. Tapi, itu adalah hasil sementara. Namun, alangkah menggembirakannya--dalam pandangan saya—jika hasil akhirnya adalah Kota Langsa memiliki perguruan-perguruan tinggi yang berkualitas tinggi, baik dalam menghasilkan lulusan maupun menjadi tulang punggung untuk merumuskan berbagai kebijakan pembangunan.
Ringkasnya: Pemko Langsa misalnya membantu mengarahkan perguruan tinggi di kota ini menjadi perguruan tinggi riset aplikatif dan kader pengusaha yang hasilnya bisa dipakai bukan hanya oleh Pemko Langsa, tapi setidaknya Pemkab Aceh Timur dan Pemkab Aceh Tamiang.
****************
KEBIJAKAN di sektor jasa dan perdagangan juga diarahkan untuk mengurangi tingkat ketergantungan pertumbuhan ekonomi dari SDA. Apalagi, sebenarnya harus kita akui, sejatinya SDA Kota Langsa tidak mampu untuk dijadikan tulang punggung mewujudkan kesejahteraan yang diinginkan karena hasilnya juga sangat minim. (bayangkan saja jumlah PAD yang bisa diperoleh hingga tahun lalu)
Seperti diyakini, Singapura bisa menjadi contoh. Negara kota ini wilayahnya sangat kecil. Akan tetapi, dia mampu berkembang besar menjadi sebuah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi luar biasa. Caranya, hanya membangun kekuatan sumber daya buatan: jasa dan perdagangan.
Sekarang, bukan hanya kedua sektor itu yang menjadi andalan mereka. Singapura juga sudah menjadi salah satu negara tujuan utama untuk pendidikan bermutu. Banyak tamatan sekolah menengah atas bermutu tinggi dari Indonesia yang menempuh pendidikan ke Negeri Singa ini--baik direkrut dengan memberikan beasiswa maupun keinginan sendiri.
Memang pada akhirnya, yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma, cara pandang kita terhadap kota ini baik segala potensi maupun kekurangannya. Keduanya harus diukur secara cermat untuk kemudian bisa menghasilkan kebijakan tepat membangun (ulang) kota ini.
Tantangan sudah pasti ada. Kalaupun tantangan itu ada dalam diri kita yang memandang dan menjalankan semuanya "as business usual", maka inilah yang harus kita ubah.
Boleh jadi pandangan "as business usual" itu ada dalam diri orang lain. Kita bisa beruntung jika tidak demikian. Namun, tentu akan jauh lebih sulit jika kita sendiri juga bersikap sama. Apalagi kalau sampai mulai muncul benih keputusasaan.
0 komentar:
Posting Komentar