Keluar Besar A.Aziz Ali ( Keluarga Uloen Tuan) |
Aku tidak tahu dengan apa akan aku lukis perasaan ini untuk mengungkapkan rasa terima kasih ku kepada kedua orang tuaku. Aku bingung kalimat mana yang pantas kupersembahkan kepada mereka berdua sebagai rasa syukur-ku untuk mereka berdua. Tetapi dengan sekelumit tulisan ini, aku mencoba menggambarkan perih hati ini akibat berbagai perbuatanku selama ini yang ku nilai dapat melukai kalbu mereka berdua.
Aku adalah salah seorang santri yang sudah cukup lama menghirup udara di lingkungan pesantren ini. Berbagai macam pengalaman telah banyak membentuk kepribadian dan identitas yang melekat pada diri ini. Ilmu dan pengetahuan yang sempat ku serap turut menjadi salah satu faktor berkembangnya cara berfikir dan bernalar. Aku merasa proses pendewasaan dalam diriku ini dimulai dari tempat yang sering disebut oleh banyak sebagai “Penjara Suci”.
Ketika aku hidup di rumah, tidak banyak dari hal-hal dalam kehidupan yang aku ketahui. Sedikit sekali rahasia kehidupan ini yang aku mengerti, meski itu berkaitan dengan kehidupanku sendiri. Apa yang dialami oleh orang lain, termasuk seluk beluk kehidupan kedua orang tuaku sendiri, tak pernah kupahami. Aku menjalani hidup dalam masa “kekanak-kanakan” yang tidak pernah mampu merasakan apa yang dirasakan oleh kedua orangtuaku. Di rumah, hidup yang aku jalani hanya diwarnai oleh pemahaman yang dangkal tentang problematika yang melilit kedua orang tuaku. Aku hanya manja di pangkuan tanggungjawab mereka berdua. Sesuatu yang kubutuhkan dalam kehidupanku ini,kupikulkan di atas punduk mereka berdua. Aku tidak pernah berpikir panjang tentang mengatasi peroalan hidup, kuserahkan sepenuhnya kepada mereka berdua. Persetan dengan keluhan, keperihan atau pedih sekalipun.
Tetapi, tatkala aku berada di dalam pagar pesantren, aku mulai merasakan segala resiko yang harus di tanggung oleh kedua orang tuaku. Perlahan aku mulai memahami permasalahan-permasalahan kehidupan yang harus dihadapi oleh setiap orang. Pelajaran tentu saja aku dapat sewaktu aku telah bersosialisasi dengan teman-teman senasib di lingkungan pesantren. Interaksi dengan mereka tidak saja membuahkan kebahagian dan pengalaman berharga, tetapi tidak jarang aku menuai letupan-letupan persoalan sepanjang masa bergaul dengan mereka.
Dari sinilah aku mulai menyadari bahwa hidup ini penuh dengan dinamika. Pada satu saat akan datang kebahagian, tetapi pada saat yang akan muncul kesedihan. Aku mulai paham bagaimana problematika kehidupan yang menerpa kedua orang tuaku ? Padahal selama ini yang kutahu adalah apa yang aku hadapi. Sebuah persoalan hidup dalam ukuran skala kecil di banding lautan kehidupan di luar tembok pesantren. Meski kutak pernah merasakan konsekwensi hidup yang harus di pikul oleh kedua orang tuaku, tetapi aku mulai memahami betapa berat perjalanan hidup mereka berdua. Akhirnya aku merasa bahwa sebenarnya selama ini aku telah menjadi bagian dari sekian beban yang telah menjadikan pundak keduanya semakin bungkuk.
Kembali aku merenung di tengah kesunyian yang menyelimuti rasa sadar di antara keramaian pesantren, tempatku menimba ilmu selama ini. Kalbu ini tersentuh tatkala bayanganku terhiyang oleh sekian tanya tentang bagaimana aku akan dapat membalas selaksa budi orang tuaku yang telah dicuarahkan kepada diri ini. Adakah untaian kalimat yang mampu mewakili syukur diriku kepada mereka berdua ? Bisakah air di lautan menjadi tinta jika aku tenorehkan susunan kata-kata terima kasihku kepada kedua orang tuaku ? Aku tak yakin itu mampu dan aku percaya hal tersebut bisa.
Lalu dengan apa lagi aku panjatkan syukur dan terima kasih sebagai balas jasa terhadap mereka berdua. Mulut ini terasa keluh, dua telapak yang kutengadahkan serasa bergetar dan tanpa kusadari ada butiran air bening mengalir di antara kerutan pipiku. Kembali dada ini kian sesak begitu kuteringat wajah mereka berdua. Wajah mereka berdua yang seyogyanya selalu tersenyum, ku sadari kini semakin keriput bukan saja karena di makan ganasnya usia, tetapi lebih dari pada itu persoalan-persoalan yang bersumber dari perilaku diri ini turut menggerogoti kedua wajah yang seharusnya kuhormati itu.
Betapa tidak, semenjak aku di dalam kandung perut ibu hingga saat ini, hidup ku selalu kugantungkan kepada mereka berdua. Seakan ku tak peduli berapa besar biaya hidup yang kubutuhkan di pesantren ini, upaya apa yang perlu mereka kerjakan dan kesulitan apa yang mesti mereka hadapi. Hal yang terpenting bagi diriku adalah mereka berdua harus mewujudkannya.
Di kesenyapan malam, ku coba rangkai kalimat-kalimat permohonan dalam munajatku:
Wahai…Ibu, aku tahu selama ini hidupmu telah banyak terbebani oleh keberadaanku. Sejak kecil kau rawat diri ini tanpa pernah kau mengeluh, meski terkadang air kencing dan kotoranku menodai pakaian atau bahkan tubuhmu.
Tidak jarang waktu istirahatmu harus banyak terbuang, hanya gara-gara aku merengek. Di saat orang lain terlelap dalam dinginnya malam, kau berjuang melawan kantuk dan lelah berusaha menenangkan diri ini dari tangisan yang tak pernah kompromi.
Ibu… meski payah, kau suapi aku tatkala aku lapar dank au susui aku ketika aku haus. Itu semua kau lakukan dengan penuh kesabaran.
Ibu… pada saat aku akan berangkat ke sekolah, kaulah orang pertama yang memeluk diri ini dengan kasih saying. Begitu pula waktu aku tiba, kaulah makhluk menerima dn melayaniku. Bahkan sewaktu aku pergi ke pesantren di rantau, kaulah satu-satunya orang melepas diri ini dengan tangisan pilu. Jika engkau memiliki sesuatu, maka akulah orang pertama yang selalu kau ingat dan kalau kau dapati musibah, maka aku harus menjadi yang terganggu.
Ibu… kasih sayang tak pernah keberhinggaan.
Ayah…walaupun kasih sayangmu tak sekuat ibu, tetapi bagi diriku engkau adalah pahlawan yang selalu berjuang menyambung tali hidupku. Permintaanku tak pernah kau tolak, tuntutanku selalu kau iyakan, meskipun kerapkali daya yang kau miliki tak sebesar permintaan dan tuntutanku itu.
Ayah…kau hidupi keluarga dengan penuh ketabahan dan bahkan kau cukupi kebutuhanku walau kau harus membanting tulang, memeras keringat. Kau jalani segala cara, meskipun harus kepanasan atau kehujanan demi menutupi jeritan keluarga.
Ayah… kaulah pahlawan keluargaku.
Tuhan… ampuni dosa-dosa mereka berdua, hapuskanlah berbagai macam musibah untuk keduanya dalam buku takdir dan hiasi hidup keduanya dengan senyum kebahagian.
Tuhan…jadikalah aku bagian dari sesuatu yang menyebabkan mereka berdua tersenyum gembira dan tutuplah usia mereka tanpa menangisi diriku.
Tuhan…terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar