"Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apa pun apabila negeri ini (Aceh) merdeka".
Itulah wasiat terakhir Panglima Gerakan Aceh Merdeka Abdullah Syafei yang tewas dalam kontak senjata di kawasan perbukitan Jimjiem, Kecamatan Bandarbaru, Kabupaten Pidie, Selasa (22/01). Wasiat yang dibuat sebulan silam, seolah firasat Syafei bahwa kematiannya memang telah dekat. Namun, jauh sebelum Tengku Lah --begitu ia biasa disapa-- tewas, ia telah menulis pesan agar kematiannya tidak ditangisi, apalagi diratapi. Sebab, perjuangan kemerdekaan negeri Aceh Sumatra belum tuntas dan kematian dirinya adalah syahid.
Tengku Lah adalah pemimpin sayap militer GAM yang sangat berpengaruh. Lebih dari 20 tahun ia memimpin gerilya GAM dari kawasan Bireun, yang dikenal sebagai markas GAM. Tengku Lah dikenal sebagai pribadi yang tegas dan sopan. Ia juga dikenal sangat santun dan bersahaja. Di mata aktivis GAM, Syafei adalah sosok yang humanis dan antikekerasan. Itulah sebabnya, berulang kali Syafie menegaskan bahwa perjuangan bersenjata tak lebih dari upaya mempertahankan diri dari serangan Tentara Nasional Indonesia.
Tengku Lah memang tak pernah dibesarkan dalam dunia kekerasan. Ia juga tak pernah mendapat pendidikan tempur di Libya, seperti yang diperoleh Muzakir Manaf, sosok yang diusung GAM menggantikan Syafei. Tengku Lah hanya seorang berkepribadian sederhana yang dilahirkan di Desa Matanggeulumpang Dua, 45 kilometer sebelah barat Lhokseumawe, Aceh Utara. Pendidikan terakhirnya hanya di Madrasah Aliyah Negeri Peusangan. Itu pun hanya sampai kelas tiga. Setelah itu, ia belajar ilmu agama di sejumlah pesantren.
Uniknya, masa muda Syafei ternyata lebih banyak dihabiskan dalam dunia teater bersama grup Jeumpa. Ia kerap berperan sebagai wanita dalam setiap pementasan. Itulah sebabnya, sejak muda rambut Syafei selalu tergerai. Perkenalan Tengku Lah dengan dunia militer terjadi pada awal 1980-an. Ia bergabung bergabung dengan GAM kelompok Hasan Tiro. Meski begitu, keramahan dan kesantunan Syafei tak pudar. Ia terus menjalin komunikasi rakyat Aceh, yang memang sangat dekat dengan dirinya.
Sikap ramah, santun, dan hangat ini diperlihatkan ketika Syafei dengan begitu akrab bertemu dengan sejumlah komponen masyarakat dan wartawan. Sekretaris Kabinet di era Presiden Abdurrahman Wahid, Bondan Gunawan, dan artis Cut Keke adalah dua di antara tokoh yang pernah Syafei temui. Bahkan, ketika TNI mengklaim telah menembaknya hingga sekarat, Maret 2000, Syafei dengan santai malah mengundang reporter SCTV Jufri Alkatiri dan Yahdi Jamhur untuk sebuah wawancara di tengah Hutan Pasee. Dalam kesempatan itu, Tengku Lah juga mengundang wartawan Kompas Maruli Tobing untuk melihat kondisi terakhir Syafei yang saat itu ternyata dalam kondisi sehat walafiat.
Setiap gerak Syafei memang layak "disantap" pers. Ia dianggap tokoh penting untuk menyelesaikan konflik Aceh yang telah berlarut-larut dan berdarah-darah. Namun, sebelum Serambi Mekah aman dan kemerdekaan Aceh masih menjadi mimpi bagi sebagian anggota GAM, Tengku Lah keburu tewas. Ia meninggal begitu dramatis; bersama Fatimah, istrinya yang tengah mengandung enam bulan, dalam keyakinan menjadi syahid.
0 komentar:
Posting Komentar